
Mbak Nur, Penjaja Jamu yang Tak Pernah Lelah Menebar Warisan Ibu dan Semangat Perempuan
PEKANBARU - Dalam balutan hijab merah dan senyum yang tak pernah pudar, Nurhayati atau yang akrab disapa Mbak Nur membawa bukan sekadar botol-botol jamu. Tapi juga cerita panjang tentang ketekunan, cinta, dan warisan ibu yang terus hidup dalam setiap teguk ramuan herbal buatannya.
Lahir pada tahun 1982, Mbak Nur telah menapaki jalan sebagai tukang jamu keliling sejak tahun 1998. Kala itu, ia baru berusia 16 tahun, namun semangatnya sudah seperti perempuan dewasa yang tahu betul jalan hidup yang ia pilih.
“Saya mulai jualan jamu dari tahun 1998. Sosok perempuan yang menginspirasi saya adalah ibu saya sendiri, orang tua saya lah yang mengajarkan saya meracik jamu, beliau yang menurunkan ilmunya kepada anak-anaknya, tapi saat ini beliau sudah meninggal,” ujarnya haru saat berbagi kisah dalam acara Perempuan Dalam Karya yang digelar oleh Kotak Baca, sebuah organisasi yang bergerak di bidang literasi dan ruang inklusif. Jum’at, (9/5/2025).
Setiap harinya, Mbak Nur menyusuri jalanan Sukajadi hingga Kampung Melayu, menawarkan jamu racikannya yang telah menjadi langganan banyak warga. Dari beras kencur yang menyegarkan, kunir asam yang menyegarkan tenggorokan, hingga sirih merah yang dipercaya baik bagi kesehatan perempuan. Semuanya diracik dengan tangan sendiri, menggunakan resep turun-temurun dari sang ibu.
“Momen yang tak bisa saya lupakan dulu saat ibu mengajarkan membuat jamu, beliau berpesan ‘kamu harus semangat, seandainya mamak sudah tidak ada, resep jamu inilah yang bisa dimanfaatkan’. Karena itulah saya ingin meneruskan semangat ibu saya,” katanya menitikkan air mata.
Di tengah gempuran zaman dan modernitas, Mbak Nur tetap setia membawa nilai-nilai tradisi yang dibungkus dengan semangat emansipasi. Menurutnya, menjadi perempuan itu bukan soal diam di rumah atau menyerah dengan keadaan.
Dari balik gerobak jamunya, Mbak Nur membuktikan bahwa warisan budaya bisa menjadi jalan untuk memberdayakan diri, dan bahwa suara perempuan bisa menggema bahkan dari lorong-lorong kampung. Ia bukan hanya penjual jamu, ia adalah penutur sejarah, penjaga tradisi, dan lentera kecil yang menyala di tengah tantangan zaman.
“Pesan saya untuk perempuan diluar sana, saya berharap mereka dapat terus maju, berkarya dan gak pantang menyerah dengan keadaan,” tutup Mbak Nur.
(Mediacenter Riau/wjh)