Dari Karyawan Jadi Pengusaha: Kisah Sukses Mantan Pegawai di Pekanbaru Berbisnis Cacing Sutra
PEKANBARU — Nama Frenki tak asing dikalangan pembudidaya ikan di Pekanbaru dan Kampar. Ia dikenal sebagai pengusaha cacing sutra, komoditas penting untuk pakan ikan.
Di sudut Gang Kuantan, Jalan Hang Tuah, Sail, Pekanbaru, Frenki menjalankan usahanya yang sudah berumur lebih dari dua dekade. Rumahnya, yang berada tepat di bantaran Sungai Sail, menjadi saksi perjuangannya menggeluti bisnis ini.
Lokasi rumah Frenki tidak mudah ditemukan, tersembunyi di dalam komplek perumahan dan dikelilingi pepohonan serta semak belukar. Dari teras rumahnya, pemandangan Sungai Sail terlihat jelas. Meski airnya keruh dan debitnya sering meningkat akibat pasang akhir tahun, sungai inilah yang menjadi sumber penghidupan utama bagi Frenki.
Di samping rumahnya terdapat bak cor semen kecil, tempat cacing sutra hasil tangkapan diolah. Pipa paralon yang mengalirkan air ke bak itu memastikan cacing sutra tetap hidup. Di dasar bak, terlihat cacing-cacing berwarna merah, seperti benang kusut. Di sinilah proses penyimpanan dan perawatan dilakukan sebelum cacing-cacing tersebut dijual.
Frenki memulai usaha ini pada tahun 2000 setelah berhenti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan. Awalnya, ia menjadi “petani” cacing sutra, sebutan bagi pencari cacing di sungai dan menjual hasil tangkapannya ke pengepul. Namun, setelah enam bulan, ia memutuskan untuk menjadi pengepul sekaligus petani, membeli cacing dari rekan-rekannya dan menjualnya langsung ke pasar.
Sebagai langkah awal, Frenki mempromosikan usahanya melalui Google Maps dan Facebook. Strategi ini berhasil membuat bisnisnya dikenal luas, tidak hanya oleh pembudidaya ikan, tetapi juga oleh instansi pemerintah dan mahasiswa yang kerap datang untuk keperluan penelitian. Usahanya, yang diberi nama Usaha Cacing Sutra Pekanbaru, berkembang pesat hingga kini.
Cacing sutra banyak diminati sebagai pakan ikan lele, patin, hingga ikan hias, terutama untuk bibit. Setiap hari, Frenki turun ke sungai selama empat jam untuk mencari cacing. Bersama lima hingga enam anggotanya, ia mampu menghasilkan puluhan kaleng cacing sutra setiap hari. Cacing ini dijual ke pasar dengan harga Rp15.000 hingga Rp20.000 per kaleng, dengan omzet harian bisa mencapai Rp4,5 juta di masa puncak.
Meski menguntungkan, pekerjaan ini tidak mudah. Frenki harus berjibaku dengan lumpur, arus sungai, hingga ancaman lintah dan ular. Alat yang digunakan pun sederhana, seperti tangguk, ember, dan ayakan. Lumpur yang dikeruk dari dasar sungai harus disaring, diendapkan, hingga cacing-cacing tersebut mengambang dan siap dipindahkan ke bak penampungan.
Perawatan cacing sutra memerlukan perhatian khusus. Frenki memastikan air bersih tetap mengalir di bak penampungan menggunakan mesin pompa. Jika pompa rusak atau penanganan kurang tepat, cacing-cacing ini bisa mati, menyebabkan kerugian besar. Frenki selalu menyetok beberapa mesin pompa sebagai langkah antisipasi.
Di tengah tantangan kondisi alam, seperti banjir dan debit air sungai yang tinggi, Frenki tetap bersyukur. Rumahnya yang berada di tepi sungai memungkinkan akses mudah untuk mengumpulkan cacing. Ia bahkan mendesain rumahnya dengan pintu depan yang menghadap langsung ke sungai, berbeda dari rumah-rumah lain di komplek yang justru menjadikan sungai sebagai bagian belakang.
Bagi Frenki, sungai bukan sekadar aliran air, melainkan sumber kehidupan. Sungai Sail menyediakan habitat ideal bagi cacing sutra dan menjadi sandaran hidupnya selama 24 tahun. Meski sederhana, usaha ini telah menghidupi keluarga kecilnya dan menunjukkan bahwa kerja keras bisa membawa kesuksesan. Di bawah rintik hujan saat saya pamit, satu hal yang terlintas di pikiran: dari cacing sutra, Frenki telah membuktikan bahwa sungai dapat mengubah hidup seseorang.
(Mediacenter Riau/mlb)